PENDIDIKAN
SENI DAN KERAJINAN TANGAN SD
KEINDAHAN
DALAM SENI DAN ESTETIKA KLASIK BARAT
Makalah
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Seni dan Kerajinan
Tangan SD Prodi PGSD pada Semester Ganjil Tahun Ajaran 2016/2017
Dosen Pengapu : Bapak Muhammad Reyhan Florean, M.Pd
oleh :
1.
Anggita Krisdiana Mayangsari ( 15186206068 )
2.
Riska Dwi Cahyanti ( 15186206094 )
3.
Dicky Feri Andriansyah ( 15186206117 )
Prodi PGSD 3B
STKIP PGRI TULUNGAGUNG
Jalan Mayor Sujadi No. 7 Telp ./Fax 0355-321426
TULUNGAGUNG
2016
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat serta hidayah-Nya kepada kami semua, sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas yang telah diberikan kepada kami berupa makalah yang berjudul Keindahan
dalam Seni dan Estetika Klasik Barat.
Makalah ini kami susun sebagai
tugas yang diberikan dari mata kuliah Pendidikan Seni dan Kerajinan Tangan SD
Prodi PGSD 3B pada semester gasal tahun ajaran 2016/2017. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan
terimakasih atas bimbingan dan kerjasama kepada :
- Bapak Muhammad Reyhan Florean, M.Pd selaku dosen pengapu Pendidikan Seni dan Kerajinan Tangan SD yang telah memberikan bimbingan dan membina penulis dalam menyelesaikan makalah ini;
- Serta teman-teman yang membantu dalam penulisan makalah ini.
Atas segala partisipasi dari
semua pihak yang telah membantu, kami
ucapkan jazakumullahukhairankatsiraa. Penulis berharap semoga makalah
ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca pada
umumnya.
Penulis menyadari makalah ini
sangat jauh dari kesempurnaan baik isi maupun bentuk penulisannya, karena
keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang kiranya dapat kami gunakan sebagai masukan
untuk perbaikan dimasa yang akan datang.
Tulungagung, Oktober 2016
DAFTAR
ISI
Halaman
Judul…………………………………………………………………
Kata
Pengantar…………………………………………………...……………
Daftar
Isi………………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………….
A.
Latar Belakang Masalah………………………………………………
B.
Rumusan Masalah…………………………………………………….
C.
Tujuan Masalah……………………………………………………….
D.
Manfaat Masalah……………………………………………………...
BAB II
PEMBAHASAN………………………………………………...……...
A.
Pengertian Keindahan dalam Seni…….………………….…………...
B.
Estetika Klasik Barat : Seni adalah Mimesis………………………….
1.
Pandangan Plato dan Aristoteles Mengenai Mimesis ……………
2.
Rasionalitas Pada Konsep Mimesis ……………………………..
BAB III
PENUTUP…………...………………………………………………...
A.
Kesimpulan……...……………………………………………….........
B.
Saran……...………………………………………………....................
C.
Daftar
Rujukan…………………………………………...……………………
|
i
ii
ii
1
1
1
1
1
3
3
10
10
13
15
15
15
iv
|
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Seni mempunyai usia yang lebih
kurang sama dengan keberadaan manusia di muka bumi ini. Dalam usia yang
sangat tua, seni telah menjadi bagian dari sejarah kehidupan budaya manusia di
berbagai belahan bumi, dengan beraneka macam bentuk dan jenis. Walaupun
orang telah akrab dengan istilah 'seni', namun terkadang masih belum
jelas tentang 'apakah definisi seni itu'.
Definisi seni yang sederhana dan
sering dilontarkan oleh publik secara umum ialah segala macam keindahan
yang diciptakan manusia. Orang memandang bahwa seni merupakan karya keindahan
yang menimbulkan kenikmatan. Kenikmatan meliputi aspek kepuasan
jasmani-rohani, yang muncul setelah terjadi respon kepuasan dalam jiwa
manusia, baik sebagai pencipta (kreator) ataupun penikmat (apresiator).
Seni berkembang dari masa ke masa,
namun tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan seni pada masa ke masa selalu
akan dijadikan adaptasi untuk menghasilkan karya seni yang lebih baik dimasa
yang akan datang.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian keindahan dalam seni?
2.
Bagaimana estetika klasik barat : seni
adalah mimesis?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui keindahan dalam seni;
2.
Mengetahui estetika barat : seni adalah
mimesis.
D.
Manfaat
Penulisan
Hasil
dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada semua pihak,
khususnya kepada mahasiswa bidang pendidikan
untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang materi keindahan seni dan
estetika klasik barat : seni dalam mimesis. Manfaat lain dengan adanya
penulisan makalah ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam pembelajaran seni
dan kerajinan tangan baik di dalam maupun diluar kelas nanti
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Keindahan Dalam Seni
Keindahan
(beauty) merupakan pengertian seni yang telah diwariskan oleh bangsa Yunani
dahulu. Plato misalnya, menyebut tentang watak yang indah dan hukuman yang
indah. Aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang baik dan menyenangkan.
Plotinus menulis tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. Bangsa Yunani juga mengenal kata keindahan
dalam arti estetis yang disebutnya "symmetria" untuk keindahan
visual, dan harmonia untuk keindahan berdasarkan pendengaran (auditif). Jadi
pengertian keindahan secara luas meliputi keindahan seni, alam, moral, dan
intelektual.
Herbert Read
dalam bukunya The Meaning of Art merumuskan keindahan sebagai suatu kesatuan
arti hubungan-hubungan bentuk yang terdapat di antara pencerapan-pencerapan
inderawi kita. Thomas Aquinas merumuskan keindahan sebagai suatu yang
menyenangkan bila dilihat. Kant secara eksplisit menitikberatkan estetika
kepada teori keindahan dan seni. Teori keindahan adalah dua hal yang dapat
dipelajari secara ilmiah maupun filsafati. Di samping estetika sebagai filsafat
dari keindahan, ada pendekatan ilmiah tentang keindahan. Yang pertama
menunjukkan identitas obyek artistik, yang kedua obyek keindahan.
Ada dua teori
tentang keindahan, yaitu yang bersifat subyektif dan obyektif, Keindahan
subyektif ialah keindahan yang ada pada mata yang memandang. Keindahan obyektif
menempatkan keindahan pada benda yang dilihat. Definisi keindahan tidak mesti
sama dengan definisi seni. Atau berarti seni tidak selalu dibatasi oleh
keindahan. Menurut kaum empiris dari jaman Barok, permasalahan seni ditentukan
oleh reaksi pengamatan terhadap karya seni. Perhatian terletak pada
penganalisisan terhadap rasa seni, rasa indah, dan rasa keluhuran (keagungan).
Reaksi atas intelektualisme pada akhir abad ke-19 yang dipelopori oleh John
Ruskin dan William Moris adalah mengembalikan peranan seni (ingat kelahiran
gerakan Bauhaus yang terlibat pada perkembangan seni dan industri di Eropa).
Dari pandangan
tersebut jelas bahwa permasalahan seni dapat diselidiki dari tiga pendekatan
yang berbeda tetapi yang saling mengisi. Di satu pihak menekankan pada
penganalisisan obyektif dari benda seni, di pihak lain pada upaya subyektif
pencipta dan upaya subyektif dari apresiator.
Bila mengingat kembali pandangan
klasik (Yunani) tentang hubungan seni dan keindahan, maka kedua pendapat ahli
di bawah ini sangat mendukung hubungan tersebut; Sortais menyatakan bahwa
keindahan ditentukan oleh keadaan sebagai sifat obyektif dari
bentuk(l'esthetique est la science du beau). Lipps berpendapat bahwa keindahan
ditentukan oleh keadaan perasaan subyetif atau pertimbangan selera (die
kunstist die geflissenliche hervorbringung des schones).
Definisi seni
yang sederhana dan sering dilontarkan oleh publik secara umum ialah segala
macam keindahan yang diciptakan manusia. Orang memandang bahwa seni merupakan
karya keindahan yang menimbulkan kenikmatan. Kenikmatan meliputi aspek kepuasan
jasmani-rohani, yang muncul setelah terjadi respon kepuasan dalam jiwa manusia,
baik sebagai pencipta (kreator) ataupun penikmat (apresiator).
Kesenian
tradisional kita, misalnya gamelan, merupakan paduan suara (nada) yang indah
yang mengenakkan telingan (pendengaran). Hiasan ukiran pada suatu dinding kamar
memberikan kesemarakan pandangan mata. Tarian Sunda yang lembut dan gemulai
juga menyejukkan rasa, setelah kita menikmati dan menghayatinya.
Definisi seni
yang lain dapat dijumpai dalam Everyman Encyclopedia, yaitu bahwa seni
merupakan segala sesuatu yang dilakukan orang bukan atas dorongan kebutuhan
pokoknya, melainkan adalah apa saja yang dilakukannya semata-mata karena
kehendak akan kemewahan, kenikmatan, ataupun karena kebutuhan spiritual. Sendok
dibuat untuk memenuhi kebutuhan pokok, sebagai alat makan.
Maka sendok
bukanlah karya seni menurut definisi tersebut. Masih banyak karya (benda) yang
lain yang kita jumpai, misalnya rumah, pakaian penutup aurat, dan barang yang
digunakan untuk kebutuhan pokok hidup kita, yang bukan seni. Yang seni yaitu
alat musik gamelan, ukiran kayu, dan lain-lain sejenisnya. Pakaian kita sebagai
penutup aurat yang dibuat bukan hanya sebagai penutup atau pelindung fisik,
tetapi si perancang (pembuat pakaian) berusaha memperindah motif serta modelnya
dengan tujuan untuk menghias pakaian tersebut, tentu saja hiasan atau model pakaian
itu merupakan karya seni.
Menurut asal
katanya, "keindahan" dalam perkataan bahasa Inggris: beautiful (dalam
bahasa Perancis beau, sedang Italia dan Spanyol bello yang berasal dari kata
Latin bellum. Akar katanya adalah bonum yang berarti kebaikan, kemudian
mempunyai bentuk pengecilan menjadi bonellum dan terakhir dipendekkan sehingga
ditulis bellum. Menurut cakupannya orang harus membedakan antara keindahan
sebagai suatu kwalita abstrak dan sebagai sebuah benda tertentu yang indah.
Untuk perbedaan
ini dalam bahasa Inggris sering dipergunakan istilah beauty (keindahan) dan the
beautifull (benda atau hal yang indah). Dalam pembahasan filsafat, kedua
pengertian itu kadang-kadang dicampuradukkan saja. Selain itu terdapat pula
perbedaan menurut luasnya pengertian yaitu:
a. Keindahan dalam arti yang luas.
b. Keindahan dalam arti estetis
murni.
c. Keindahan dalam arti terbatas
dalam hubungannya dengan penglihatan.
Keindahan dalam
arti yang luas, merupakan pengertian semula dari bangsa Yunani, yang di
dalamnya tercakup pula ide kebaikan. Plato misalnya menyebut tentang watak yang
indah dan hukum yang indah, sedang Aristoteles merumuskan keindahan sebagai
sesuatu yang selain baik juga menyenangkan. Plotinus menulis tentang ilmu yang
indah dan kebajikan yang indah.
Orang Yunani
dulu berbicara pula mengenai buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan yang
indah. Tapi bangsa Yunani juga mengenal pengertian keindahan dalam artiestetis
yang disebutnya symmetria ntuk keindahan berdasarkan penglihatan (misalnya pada
karya pahat dan arsitektur) dan 'harmonia' untuk keindahan berdasarkan
pendengaran (musik). Jadi pengertian keindahan yang seluas-luasnya meliputi:
keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral, keindahan intelektual.
Keindahan dalam
arti estetika murni, menyangkut pengalaman estetis dari seseorang dalam
hubungannya dengan segala sesuatu yang dicerapnya. Sedang keindahan dalam arti
terbatas, lebih disempitkan sehingga hanya menyangkut benda-benda yang dicerap
dengan penglihatan, yakni berupa keindahan dari bentuk dan warna secara kasat
mata.
Pembagian dan
pembedaan terhadap keindahan tersebut di atas, masih belum jelas apakah
sesungguhnya keindahan itu. Ini memang merupakan suatu persoalan fisafati yang
jawabannya beranekaragam. Salah satu jawaban mencari ciri-ciri umum yang pada
semua benda yang dianggap indah dan kemudian menyamakan ciri-ciri atau kwalita
hakiki itu dengan pengertian keindahan. Jadi keindahan pada dasarnya adalah
sejumlah kwalita pokok tertentu yang terdapat pada sesuatu hal. Kwalita yang paling
sering disebut adalah kesatuan (unity), keselarasan (harmony),kesetangkupan
(symmetry), keseimbangan (balance) dan perlawanan (contrast). Seni menurut
media yang digunakan terbagi 3 yaitu :
1.
Seni yang dapat dinikmati melalui media
pendengaran atau (audio art), misalnya seni musik,seni suara, dan seni sastra
seperti puisi dan pantun
2.
Seni yang dinikmati dengan media
penglihatan (Visual art)) misalnya lukisan “poster”,seni bangunan, seni gerak
beladiri dan sebagainya.
3.
Seni yang dinikmati melalui media penglihatan
dan pendengaran (audio visual art) misalnya pertunjukan musik, pagelaran
wayang, film.
Keindahan dalam
arti artistik disebut juga dengan keindahan seni yang merupakan pengutaraan isi
jiwa atau perasaan sang penciptanya. Isi jiwa manusia dapat berbentuk rasa
indah, rasa lucu (kosmis), rasa sedih (tragis) rasa gaib (magic) dan
sebagainya. Hasil karya seni mencerminkan isi jiwa sang penciptanya dan
mengungkapkan keindahan dalam arti artistik (seni).
Keindahan seni
sendiri dapat disalurkan seperti lukisan, lagu, karya sastra, dan masi banyak
lagi penyaluran dari keindahan seni ini. Kita juga dapat menciptakan sebuah
keindahan seni melalui lukisan tentang keindahan alam, lalu tarian yang
gerakannya menunjukkan keindahan dan lagu yang merupakan perasaan, pikiran
kita.
Definisi seni
yang sering kita dengar, bahkan para mahasiswa juga tidak jarang yang masih
mengatakan bahwa seni adalah segala keindahan yang diciptakan manusia. Definisi
tersebut secara universal dilontarkan orang, karena karya seni di setiap bangsa
di dunia ini, dari zaman prasejarah hingga zaman kini mempunyai ciri keindahan.
Hubungan seni
dan keindahan sangat jelas, terutama ditinjau dari sudut kebentukan karya seni
itu. Jika kita memandang lukisan Rembrandt, pelukis Belanda pada masa Barok,
keindahan manusia yang dilukiskan memperlihatkan cita rasa (taste) klasik.
Begitupun karyaAbdullah, pelukis naturalisme kita melukiskan keindahan
pemandangan alam yang elok. Pada dinding candi terdapat ornamen (hiasan) yang
tampak berkesan indah dan artistik. Patung Michelangeloyang anatomis
mempertimbangkan keindahan postur tubuh yang ideal klasik. Masih banyak lagi
karya-karya seni yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, yang dikategorikan
sebagai karya seni yang indah.
Namun seandainya
kita dihadapkan pada karya Max Beckmann dari kelompok Neue Sachlichkeit (1918)
yang berjudul 'Night', menggambarkan keadaan manusia yang menyedihkan,
sengsara. Keadaan sengsara, tidak mengenakkan, bukanlah suatu keadaan yang
indah, bukan pemandangan yang menyenangkan, namun itu suatu kenyataan hidup.
Max Beckmann memang melukiskan suatu 'new objectivity' (obyektivitas baru).
Seniman yang
bergaya realisme, sezaman Gustave Courbet, Edouard manet, Toulouse Loutrec,
Francisco de Goya, pada beberapa karyanya lebih banyak mengungkapkan kenyataan
(realitas) kehidupan di dunia. Realitas kehidupan di dunia yang ditonjolkan
justru sisi kehidupan yang tidak indah. Apalagi pada perkembangan akhir
modernisme dewasa ini. Seni seakan dijadikan wahana atau media untuk
mengekspresikan ide, pikiran, gagasan dan perasaan individu atau kelompok dalam
upaya mengkomunikasikan misi sosial- realistis kepada publik, dengan penampilan
visual yang kreatif.
Dari kretaivitas
seniman tersebut memperlihatkan sosok karya yang sulit dicerna, jika kita
melihat dari segi keindahan bentuk saja. Misalnya bila kita menikmati karya
seni eksperimentasi, seni lingkungan, ataupun seni instalasi. Seonggok sampah
pun yang ditata sedemikian rupa dan ditempatkan pada suatu ruang pameran bisa
dikatakan seni, dengan iringan konsep estetis karya yang disajikan tersebut.
Pertanggungjawaban
karya secara konsepsional sangat diperlukan untuk memberikan gambaran kejelasan
kepada para penikmatnya. Sehingga komunikasi seniman dengan apresiator
(penikmat) dijembatani dengan tulisan seniman tentang penalaran ide/gagasan
seninya. Ada pertanyaan yang muncul dari kalangan mahasiswa tentang
bagaimanakah kita menemukan keindahan pada karya seni instalasi. Sebenarnya
kita akan sulit menjawab pertanyaan itu, namun secara sementara barangkali kita
menjelaskannya bahwa seni itu tidak selalu indah, sebab yang tidak indah pun
dinamakan seni.
Pada dasarnya
seni itu lahir dari curahan emosi seseorang yang berupaya berkomunikasi dengan
publlik seni, jadi apapun hasilnya, yang penting di dalamnya terdapat proses
berekspresi seni dan komunikasi emosi dengan menggunakan media seni. Jika kita
mempersoalkan keindahan, ada dua kategori yang saling bertentangan. Yang satu
bersifat subyektif, yang memandang bahwa indah itu terletak pada diri yang melihat
(beauty is in the eye of the beholder). Sedangkan yang satu lagi bersifat
obyektif, yang menempatkan keindahan pada barang (benda/karya) seni yang kita
lihat. Socrates mengatakan bahwa keindahan adalah segala sesuatu yang
menyenangkan dan memenuhi keinginan terakhir. Pendapat ini termasuk kategori
subyektif. Yang indah adalah yang mendatangkan rasa senang tanpa pamrih, dan
tanpa adanya konsep-konsep tertentu. Pendapat Immanuel Kant tersebut juga
bersifat subyektif.
Teori keindahan
subyektif akan sulit menjawab persoalan yang baru muncul, mengapa kita senang
terhadap sesuatu. Hal ini akan tergantung pada diri memperlihatkan ciri keindahan itu. Misalnya
jika kita mengamati bunga, timbul pertanyaan, mengapa bunga itu indah, maka
jawabannya adalah bahwa bunga itu mempunyai warna, bentuk, keharuman dan
kehalusan yang memukau. Keindahan obyektif mudah untuk dianalisis atau
dideskripsikan.
Para pemikir terdahulu yang
menempatkan keindahan pada obyek seninya ialah Santo Augustinus, Thomas Aquinas
danHerbert Read. Santo Augustinus mendefinisikan keindahan sebagai kesatuan
bentuk. Thomas Aquinas memberikan tiga syarat untuk bisa disebut indah, ialah:
(1) adanya integritas atau perfeksi, (2) proporsi yang tepat atau harmonis, dan
(3) adanya klaritas atau kejelasan. Sedangkan Herbert Read menegaskan bahwa
keindahan ialah kesatuan hubungan bentuk-bentuk. Jika kita berpendapat bahwa
keindahan lukisan itu terletak pada komposisi warnanya, kesatuan bentuknya,
keharmonisan irama garisnya, dan integritas bidang secara keseluruhan, maka
pendapat kita itu termasuk pendukung teori obyektif. Kesenangan atas keindahan
tersebut diletakkan pada obyek (benda) seni yang dinikmati, bukan pada diri
penikmat (subyek).
Kalau
kita berpendapat sejalan dengan Herbert Read yang obyektif, barangkali kita
bisa memahami, mengapa yang menjijikkan, jorok-jorok, kumuh dan kumal pada tema
karya seni disebut indah juga. Dasar pertama ialah bahwa keindahan itu terletak
pada obyeknya, tidak pada diri penikmat. Pada obyek itu terdapat kualitas tertentu
yang tidak selalu harus dihubungkan dengan apapun. Maka yang menjijikkan tidak
akan merasa jijik, bila kita tidak menghubungkan (mengasosiasikan) dengan
keadaan atau kenyataan yang sebenarnya yang ada dalam pengalaman kita.
Berbeda
dengan Baumgarten dan Immanuel Kant, filsuf Jerman ini membedakan adanya tiga
kesempurnaan di dunia ini, yaitu kebenaran, kebaikan dan keindahan. Kebenaran
ialah kesempurnaan yang kita tangkap dengan rasio (ilmu pengetahuan, misalnya),
kebaikan ditangkap dengan moral kita, dan keindahan ditangkap dengan rasa
(indera) kita. Sehingga yang menjijikkan dalam karya bisa disebut indah karena
fasilitas penangkapannya berbeda. Keindahan sebuah lukisan harus ditangkap
dengan mata, bukan dengan moral. Dalam kenyataan pengamatan bentuk karya, tidak
bisa lepas memisah- misahkan antara rasio, moral dan rasa (indera). Sehingga
kita bisa merangkum kedua teori itu dalam prosespenikmatan terhadap seni
B.
Estetika
Klasik Barat : Seni Adalah Mimesis
Dalam perkembangan estetika klasik
barat seni sering dibicarakan sebagai suatu hal yang berhubungan dengan
konsepsi rasionalitas. Konsep rasionalitas dalam perkembangan seni ini bermula
ketika digunakannya konsep yang terlihat oleh mata dijadikan dasar dalam
mengolah bentuk-bentuk seni (reproduksi alam).
Pandangan seni yang berusaha untuk
menggambarkan alam sekitar dengan tertib ini bermula di Yunani pada sekitar
abad keenam sebelum masehi (bersamaan waktu perpindahan kedua nenek moyang
orang Indonesia dari Yunan Asia Tenggara). Seni bagi orang Yunani pada masa itu
adalah tiruan alam atau disebut “mimesis”.
Mimesis merupakan salah satu wacana
yang ditinggalkan Plato dan Aristoteles sejak masa keemasan filsafat Yunani
Kuno, hingga pada akhirnya Abrams memasukkannya menjadi salah satu pendekatan
utama untuk menganalisis seni selain pendekatan ekspresif, pragmatik dan
objektif. Mimesis merupakan ibu dari pendekatan sosiologi seni yang darinya
dilahirkan puluhan metode kritik seni yang lain.Mimesis berasal bahasa
Yunani yang berarti tiruan. Dalam hubungannya dengan kritik sastra mimesis
diartikan sebagai pendekatan sebuah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra
selalu berupaya untuk mengaitkan karya sastra dengan realitas atau kenyataan.
Perbedaan pandangan Plato dan
Aristoteles menjadi sangat menarik karena keduanya merupakan awal filsafat
alam, merekalah yang menghubungkan antara persoalan filsafat dengan kehidupan.
Banyak contoh yang dapat diambil dari seni lukis yunani purba atau lebih-lebih
lagi seni patungnya. Bagi orang-orang Yunani seni adalah tiruan alam atau
“mimesis” (dari kata “mimic”, seasal dengan istilah “mimicry” dalam ilmu hayat)
yang disebut oleh Aristoteles, “..omnis ars nature imitation est”
1. Pandangan
Plato dan Aristoteles Mengenai Mimesis
Pandangan
Plato mengenai mimesis sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep
Idea-idea yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni.
Plato menganggap Idea yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan
sesuatu yang sempurna dan tidak dapat berubah. Idea merupakan dunia ideal yang
terdapat pada manusia. Idea oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio,
tidak mungkin untuk dilihat atau disentuh dengan panca indra. Idea bagi Plato
adalah hal yang tetap atau tidak dapat berubah, misalnya idea mengenai
bentuk segitiga, ia hanya satu tetapi dapat ditransformasikan dalam bentuk
segitiga yang terbuat dari kayu dengan jumlah lebih dari satu . Idea mengenai
segitiga tersebut tidak dapat berubah, tetapi segitiga yang terbuat dari kayu
bisa berubah
Berdasarkan
pandangan Plato mengenai konsep Idea tersebut, Plato sangat memandang rendah
seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul Republic bagian kesepuluh. Bahkan ia mengusir seniman dan
sastrawan dari negerinya. Karena menganggap seniman dan sastrawan tidak berguna
bagi Athena, mereka dianggap hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja.
Pandangan
tersebut muncul karena mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya
akan menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dari ‘kebenaran’.
Seluruh barang yang dihasilkan manusia menurut Plato hanya merupakan copy dari Idea, sehingga barang tersebut
tidak akan pernah sesempurna bentuk aslinya (dalam Idea-Idea mengenai barang
tersebut). Sekalipun begitu bagi Plato seorang tukang lebih mulia dari pada
seniman atau penyair. Seorang tukang yang membuat kursi, meja, lemari dan lain
sebagainya mampu menghadirkan idea ke dalam bentuk yang dapat disentuh panca
indra. Sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak kenyataan yang dapat
disentuh panca indra (seperti yang dihasilkan tukang), mereka oleh Plato hanya
dianggap menjiplak dari jiplakan
Menurut
Plato mimesis hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah menghasilkan idea
sungguhan, mimesis hanya mampu menyarankan tataran yang lebih tinggi. Mimesis
yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung
terhadap dunia ideal. Hal itu disebabkan pandangan Plato bahwa seni dan sastra
hanya mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah
disebutkan di muka. Bahkan seperti yang telah dijelaskan di muka, Plato
mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau emosi,
bukan rasio
Aristoteles
adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimesis, yang
berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato
beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan
emosi, Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa meninggikan
akal budi. Aristoteles memandang seni sebagai katharsis,
penyucian terhadap jiwa. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan
kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah
penikmatnya.
Aristoteles
menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimesis tidak semata-mata
menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan
kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan
indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica, Aristoteles
mengemukakakan bahwa sastra bukan copy (sebagaimana uraian Plato) melainkan
suatu ungkapan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang
menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau penyair memelih beberapa
unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi ‘kodrat manusia yang abadi’,
kebenaran yang universal. Itulah yang membuat Aristoteles dengan keras
berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih tingi dari tukang kayu dan
tukang-tukang lainnya.
Pandangan
positif Aristoteles terhadap seni dan mimesis dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap
‘ada’ dan Idea-Idea. Aristoteles menganggap Idea-idea manusia bukan sebagai
kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya idea-lah yang tidak dapat
berubah. Aristoteles justru mengatakan
bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri.
Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk
dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal sedangkan materi adalah bahan untuk
membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan.
2.
Rasionalitas Pada Konsep Mimesis
Mimesis
yang menjadi pandangan Plato dan Aristoteles saat ini telah ditransformasikan
ke dalam berbagai bentuk teori estetika (filsafat keindahan) dengan berbagai
pengembangan di dalamnya. Luxemberg (1989: 18) menyebutkan bila pada zaman
Renaissaince pandangan Plato dan Aristoles mengenai mimesis saat ini telah
dipengaruhi oleh pandangan Plotinis, seorang filsuf Yunani pada abad ke-3
Masehi. Mimesis tidak lagi diartikan suatu pencerminan tentang kenyataan
indrawi, tetapi merupakan pencerminan langsung terhadap Idea. Dari pandangan ini dapat diasumsikan bahwa
susunan kata dalam teks sastra tidak meng-copy secara dangkal dari kenyataan indrawi
yang diterima penyair, tetapi mencerminkan kenyataan hakiki yang lebih luhur.
Melalui pencerminan tersebut kenyataan indrawi dapat disentuh dengan
dimensi lain yang lebih luhur.
Menurut
Plato, dunia ini dibagi tiga. Dunia ide, dunia jasmani, dan karya seni. Dunia
ide adalah sumber dari dari segala bentuk / form / ide (sejati). Dunia yang
kita tinggali sekarang ini adalah dunia jasmani. Dunia jasmani adalah imitasi
dari dunia ide. Maksudnya adalah semua yang kita lihat, semua yang kita
genggam, sesuatu yang menurut kita indah, jelek, atau lainnya yang ada di dunia
jasmani ini adalah tiruan dari bentuk sejati yang berada di dunia ide.
Sebagai
contoh, sebuah meja. Sebuah meja yang kita lihat didunia ini bukan meja sejati.
Para pembuat meja adalah bukan pencipta meja. Karena konsep tentang ke-meja-an
atau meja yang sejati itu ada di dunia ide. Kenapa kita bisa tahu bentuk meja
itu harus seperti apa? Karena menurut Plato, sebelum roh kita turun dari dunia
ide dan menyatu dengan tubuh kita didunia jasmani ini, roh kita diperkenalkan
dulu dengan banyak konsep, salah satu contohnya adalah konsep ke-meja-an.
Dengan adanya pemikiran ini berarti didunia jasmani tidak ada yang namanya
orisinalitas. Tetapi beda lagi
dengan muridnya yang bernama Aristoteles.
Menurut
Aristoteles, seni bukan hanya sekedar tiruan dari alam. Tetapi juga melibatkan
perasaan dari dalam jiwa. Dalam buku Aristoteles yang berjudul Poetic, semua
jenis sajak (epic poet, tragedy, comedy), ataupun permainan flute sekalipun
adalah sebuah imitasi. Dan ia membagi imitasi itu menjadi 3 (tiga), yaitu :By
the means they use, By their Objects, By the manner.
Means yang berarti cara. Dalam hal ini
adalah irama, language (dialog, suara orang), dan harmoni. Dari ketiga itu seni
bisa berdiri, dengan cara sendiri-sendiri ataupun kombinasi dari ketiganya.
Aristoteles mencontohkan, seni sajak itu hanya imitasi dari language, tidak
melibatkan harmoni.
Object maksudnya adalah meniru dari
sifat-sifat manusia (karakter). Aristoteles berpendapat karakter manusia secara
umum ada dua. Virtue and vice (kebaikan dan keburukan).
Manner maksudnya adalah cara penyajian /
menampilkan dari suatu karakter. Seorang pemain atau actor berakting /
berpura-pura menjadi karakter yang ia perankan dalam suatu cerita, baik atau
jahat. Seorang actor melakukan, merepresentasi imitasi terhadap sifat /
karakter dari kehidupan nyata
Plato
menempatkan seni (yang sekarang dianggap sebagai suatu karya indah) sebagai
suatu produk imitasi (mimesis). Karya imitasi (seni) tersebut harus memiliki
keteraturan dan proporsi yang tepat. Aristoteles memandang estetika sebagai
"the poetics" yang terutama merupakan kontribusi terhadap teori
sastra daripada teori estetika. Sebenarnya secara prinsip Aristoteles dan Plato
berpandangan sama yaitu membuat konklusi bahwa seni merupakan proses produktif
meniru alam. Aristoteles juga mengembangkan teori "chatarsis" sebagai
suatu serangan kembali terhadap pendapat Plato. Chatarsis, dalam bentuk kata
Indonesia "katarsis" adalah penyucian emosi-emosi menakutkan,
menyedihkan dan lain-lain.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Keindahan atau keelokan merupakan
sifat dan ciri dari orang, hewan, tempat, objek, atau gagasan yang memberikan
pengalaman persepsi kesenangan, bermakna, atau kepuasan. Keindahan
berasal dari kata indah yang artinya bagus, cantik, atau elok. Indah sama
dengan “beauty” (bahasa Inggris), “Beau” (bahasa Perancis) atau “Bello” (bahasa
Italia). Keindahan dapat diartikan secara artistik, terbatas, dan luas. menurut
media yang digunakan terbagi 3 yaitu : audio art, Visual art, dan audio
visual art.
Dalam
perkembangan estetika klasik barat seni sering dibicarakan sebagai suatu hal
yang berhubungan dengan konsepsi rasionalitas. Mimesis atau tiruan merupakan
salah satu wacana yang ditinggalkan Plato dan Aristoteles sejak masa keemasan
filsafat Yunani Kuno, dimana pada masa itu terjadi perbedaan pendapat yang
sangat mencolok antara keduanya, hingga pada akhirnya Abrams memasukkannya
menjadi salah satu pendekatan utama untuk menganalisis seni selain pendekatan
ekspresif, pragmatik dan objektif.
B.
Saran
Alangkah luas
ilmu Allah. Jika lautan dijadikan tinta, dan seluruh tumbuhan yang ada di muka
bumi ini dijadikan pena, maka tidak akan cukup untuk menuliskannya. Itulah ilmu
Alah.
Beberapa
referensi, sumber dan literatur, telah kami kumpulkan dan kami jadikan bahan
dalam menyusun makalah ini. Akan tetapi, kekurangan sudah menjadi barang tentu.
Karena ini hanyalah sedikit dari ilmu Allah.
Untuk menutupi
kekurangan sekaligus menjawab kebutuhan yang tidak terpenuhi dengan makalah
ini, kami menyarankan sekaligus merekomendasikan agar pembaca langsung membaca
dan merujuk pada sumber yang kami gunakan. Untuk itu, dalam makalah ini, kami
sertakan daftar rujukan.
DAFTAR
RUJUKAN
http://psrpgsdstkippgritulungsgung.blogspot.co.id/2015/09/pendidikan-seni-rupa-dan-kerajinana-pgsd.html?m=1
http://www.kompasiana.com/iiculyogya/mimesis-dan-rasionalitas-dalam-perkembangan-seni_54fff66ca33311026d50f8a0
http://dhillatm.blogspot.co.id/2014/11/keindahan-seni.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar